Jenis Transaksi Ekonomi Yang Dihalalkan Serta Penjelasan Tentang Riba’ Dalam Islam

 Jenis Transaksi Ekonomi yang Dihalalkan dalam Islam
Terdapat banyak jenis transaksi dalam kegiatan ekonomi, dimana kegiatan ekonomi tersebut setiap hari kita lakukan dalam rangka bermuamalah atau berhubungan secara sosial yang berkaitan dengan transaksi antara sesorang dengan orang lain. Tentunya ada beberapa jenis transaksi dalam Islam yang dihalalkan sehingga kita dapat mengambil manfaat dan ridho Allah dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut. Transaksi tersebut antara lain adalah :
1.1  Jual Beli (Bai’ Al Murabahah)
Jual beli atau Bai’ Al Murabahah adalah persetujuan saling mengikat antara penjual (pihak yang menyerahkan barang ) dan pembeli (pihak yang membayar barang yang dijual) yang dalam Islam berarti jual beli ketika penjual memberitahukan kepada pembeli biaya perolehan dan keuntungan yang diinginkannya (Usmani, 1999). 
Landasan Hukum :
Ayat Al Quran Terkait Jual Beli :

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. ( Quran :  Al Baqarah : 198)



Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Quran : Al Baqarah : 275)


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Quran : An Nisa : 29)

Hadits Terkait Jual Beli :
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim.

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual beli maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual beli selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas dasar itu, maka jadilah jual beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual beli, maka jadilah jual beli itu." Muttafaq Alaihi. Dan lafadznya menurut riwayat Muslim.
Rukun dan Syarat Jual Beli (Bai’ Al Murabahah)
Orang yang melakukan akad jual beli (Penjual dan Pembeli), Syaratnya :
·         Berakal
·         Balig
·         Berhak Menggunakan Hartanya
Barang yang diperjualbelikan, memilik syarat :
·         Barangnya merupakan barang halal
·         Barang memiliki manfaat
·         Barang sudah tersedia
·         Kepemilikan atas barang jelas
·         Zat, bentuk, kadar serta sifatnya diketahui kedua pihak
Nilai barang yang dijual memiliki syarat :
·         Memiliki harga jual yang jelas dan pasti jumlahnya
·         Nilai tukar barang dapat diserahkan pada saat transaksi
·         Apabila transaksi dilaksanakan dengan barter (Al Muqayadah), maka tidak boleh dengan barang yang haram.
Sighat (ijab dan kabul)
·         Ijab merupakan perkataan penjual pada saat transaksi dilakukan
·         Kabul merupakan perkataan pembeli pada saat transaksi dilakukan
Jenis Transaksi Jual Beli lainnya :
·         Bissamanil Ajil, yaitu jual beli barang dengan harga yang berbeda antara kontan dan angsuran.
·         Salam, yaitu jual beli barang secara tunai dengan penyerahan barang ditunda sesuai kesepakatan.
·         Istisna, yaitu jual beli barang dengan pemesanan dan pembayarannya pada waktu pengambilan barang.
·         Isti’jar, yaitu jual beli antara pembeli dengan penyuplai barang.
·         Ijarah, yaitu jual beli jasa dari benda (sewa) atau tenaga/keahlian (upah).
·         Sarf, yaitu jual beli pertukaran mata uang antar negara

1.2 Perkongsian (Syarikat)
Syarikat adalah persekutuan antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk bekerja sama dalam suatu usaha, yang keuntungannya untuk mereka bersama. Syarikat merupakan salah satu bentuk ta’awun (tolong menolong).
Terdapat beberapa bentuk akad dalam Syarikat yang diantaranya adalah :
·         Musyarakah, yaitu menggabungkan modal dalam suatu usaha yang hasil keuntungannya dibagi berdasarkan proporsi modal yang ditanam.
·         Mudarabah, yaitu pemberian modal dari pemilik modal (Mudharib) kepada seseorang yang menjalankan modal (Shahibul Mal) dengan ketentuan bahwa untung rugi ditanggung bersama sesuai dengan perjanjian.
·         Muzara’ah dan MukhabarahMuzara’ah ialah paruhan hasil sawah antara pemilik dan penggarap, benihnya berasal dari pemilik sawah. Jika benihnya dari penggarap disebut Mukhabarah.
·         Musaqah, yaitu paruhan hasil kebun antara pemilik dan penggarap, besar bagian masing-masing sesuai dengan perjanjian pada waktu akad.

Hikmah dalam transaksi Syarikat :
·         Menjalin persaudaraan dan persatuan
·         Mewujudkan tolong menolong antar sesama manusia
·         Memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan
·         Mengurangi pengangguran
·         Melahirkan kemajuan dalam berbagai bidang.
·         Menyelesaikan pekerjaan besar bersama untuk kepentingan umat.
·         Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah pertanian.
·         Mencegahan terjadinya lahan-lahan kritis.
·         Memelihara dan melestarikan sumber daya alam.

1.3  Transaksi dengan Pemberian Kepercayaan
Transaksi Pemberian Kepercayaan adalah akad atau perjanjian mengenai penjaminan hutang dengan pemberian kepercayaan.
Akad transaksi pemberian kepercayaan adalah sebagai berikut :
·         Jaminan (Kafalah / Damanah), yaitu mengalihkan tanggung jawab seseorang (yang dijamin) kepada orang lain (penjamin).
·         Gadai (Rahn), yaitu menjadikan barang berharga sebagai jaminan yang mengikat dengan hutang dan dapat dijadikan sebagai bayaran hutang jika yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya.
·         Pemindahan Hutang (Hiwalah), yaitu memindahkan kewajiban membayar hutang kepada orang lain yang memiliki sangkutan hutang.
Landasan hukum
Ayat Al Quran Terkait dengan Transaksi berlandas kepercayaan :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Quran : Al Baqarah : 283)


Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."
(Quran : Yusuf : 72).

1.4  Hutang Piutang
Transaksi utang piutang adalah akad atau perjanjian antara pihak yang berhutang (peminjam) dan pihak yang berpiutang (yang meminjamkan).
Syarat Hutang Piutang :
·         Yang berpiutang tidak meminta pembayaran melebihi pokok piutang (bunga).
·         Peminjam tidak boleh menunda-nunda pembayaran utangnya.
·         Barang (uang) yang diutangkan atau dipinjamkan adalah  milik sah dari yang meminjamkan.
·         Pengembalian utang tidak boleh kurang nilainya.
·         Disunahkan mengembalikan lebih dari pokok utangnya.
Landasan Hukum :
Ayat Al Quran Terkait Hutang Piutang :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(Quran : Al Baqarah : 282)

Hadist terkait hutang piutang :
Ruh seorang mukmin itu tergantung kepada utangnya hingga dibayarkan utangnya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi)

“Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan pungkiri.” (HR. Bukhari, Muslim)

1.5  Titipan (Wadi’ah)
Wadi’ah adalah transaksi dimana suatu barang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk dijaga oleh orang lain yang sanggup menjaga barang tersebut
Syarat Wadi’ah
·         Barang yang dititipkan dapat dikenakan biaya penitipan sesuai dengan nilai barang dan lamanya waktu penitipan.
·         Barang yang dititipkan tidak boleh barang yang diharamkan dan/atau diperoleh dengan cara yang haram.
·         Barang titipan menjadi tanggung jawab penuh pihak penyedia jasa titipan
·         Penyedia jasa titipan tidak boleh memanfaatkan barang.
·         Barang titipan dapat dikembalikan kapan saja pemilik barang menghendakinya.
1.6 Transaksi Pemberian/ Perwakilan dalam Transaksi (Wakalah)
Wakalah adalah pemberian kuasa (mewakilkan) kepada pihak lain untuk melakukan sebuah transaksi, atau pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.


Syarat Transaksi Wakalah :
Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil) :
·         Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
·         Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
 Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil) :
·         Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
·          Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,

Obyek yang diwakilkan :
·         Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
·         Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
·         Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.

Shighat :
·         Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
·         Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa
·         Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.
 Landasan Hukum :
Ayat Al Quran Terkait Wakalah :

 Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Quran : An Nisa : 35)

 Hadist Terkait dengan transaksi Wakalah :

“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)

 “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)

2.      Penjelasan tentang Riba’
Riba’ adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Landasan Hukum :
Ayat Quran yang Tentang Riba’ :

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
(Quran : Al Baqarah : 276 )


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(Quran : Al Baqarah : 278)

  
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Quran : Ar Ruum : 39)

 Hadits Terkait tentang Riba’ :

Rasulullah melaknat orang  yang memakan riba, yang  mewakilinya,  penulisnya,  dan  kedua  saksinya dan Rasul berkata : mereka semua berdosa". (HR. Muslim)

Hadits riwayat Sahal bin Abu Hatsmah ra, Bahwa Rasulullah saw. melarang penjualan kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda: Demikian itu adalah riba’ yang ada dalam muzabanah, hanya saja beliau memberi keringanan dalam penjualan secara Ariah, yaitu satu atas. dua buah pohon kurma diambil oleh suatu keluarga dengan cara ditaksir dengan kurma kering lalu mereka makan buahnya yang masih setengah matang. (Shahih Muslim No.2842)

Sebab-Sebab Diharamkannya Riba :
·         Dapat menimbulkan eksploitasi (pemerasan) oleh pemegang modal besar (kaya) kepada orang  yang terdesak ekonominya.
·         Dapat menciptakan dan mempertajam jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
·         Dapat menimbulkan sifat rakus dan tamak yang mengakibatkan orang tidak mampu bertambah  berat bebannya.
·         Dapat memutuskan tali persaudaraan terhadap sesama muslim karena menghilangkan rasa tolong-menolong.

Macam-Macam Riba :
  • Riba Fadli, yaitu tukar  menukar  dua barang sejenis tetapi tidak  sama  ukurannya.
  • Riba Qordli, yaitu meminjamkan barang  dengan  syarat ada keuntungan bagi yang meminjamkan
  • Riba Nasi'ah, yaitu tambahan yang disyaratkan dari 2 orang yang mengutangi sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) utangnya.
  • Riba Yad, yaitu riba dengan sebab perpisah dari tempat aqad jual beli sebelum  serah  terima  antara penjual dan pembeli.
















5 komentar: